Senin, 14 Januari 2013

UPAYA MENINGKATKAN PEMECAHAN MASALAH PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL

(Penelitian Tindakan Kelas terhadap Siswa Kelas VIII G SMP Negeri 2 Kuningan Tahun Ajaran 2012-2013)
.
Oleh. Yoyoh Sadiyah

 ABSTRAK
Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui sejauh mana penerapan pendekatan kontekstual pada pembelajaran matematika dapat meningkatkan kemampuan pemecahan.Adapun yang menjadi subjek penelitian adalah siswa kelas VIII G SMPN 2 Kuningan sebanyak 35 siswa, dengan materi pokok yang dipilih adalah Sistem  Persamaan Linear Dua Variabel. Instrumen penelitian yang digunakan adalah tes. Tes terdiri dari tes formatif yang dilaksanakan pada akhir pembelajaran dan ulangan harian yang dilaksanakan pada akhir materi pokok. Tes ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan pemecahan masalah.Hasil penelitian tindakan kelas menunjukkan bahwa, pendekatan kontekstual pada pembelajaran matematika dapat dijadikan alternatif dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, karena  pendekatan ini dapat menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan. Dimana siswa berperan aktif dalam memecahkan suatu masalah, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dan monivator.Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa, penggunaan pendekatan kontekstual pada materi pokok Sistem Persamaan Linear Dua Variabel dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada pembelajaran matematika. Oleh sebab itu kepada peneliti lain, disarankan untuk mencoba pendekatan kontekstual pada materi pokok yang lainnya sehingga kemampuan pemecahan masalah  dapat meningkat dalam pembelajaran matematika
Kata Kunci: Pendekatan Kontekstual dan Pemecahan Masalah
.
PENDAHULUAN
Matematika sebagai salah satu ilmu dasar memegang peranan yang sangat penting, baik sebagai alat bantu ilmu-ilmu lain maupun sebagai unsur utama dalam pengembangan matematika itu sendiri.  Mengingat begitu pentingnya matematika, maka usaha untuk mencapai keberhasilan siswa dalam belajar matematika sangat diperlukan. Dengan demikian pembelajaran matematika di sekolah harus membentuk wawasan siswa dalam berfikir kritis, logis dan sistematis sehingga setelah mereka kembali ke masyarakat dapat mengembangkan dan mengkolaborasikan matematika dengan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.
secara tidak sadar kita selalu dihadapkan pada masalah setiap saat.Sebagian besar ahli Pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab.Ruseffendi (1988: 243) berpendapat bahwa,suatu persoalan merupakan masalah bagi seseorang bila persoalan itu tidak dikenalnya, dan orang tersebut mempunyai keinginan untuk menyelesaikannya. Selanjutnya Polya (dalam Hudoyono, 1979: 112) mendefinisikan bahwa,  masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak dengan segera dapat dicapai.
Begitu pula dengan  Widdihartono, (2004: 9) mengatakan bahwa, masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon. Mereka juga menyatakan bahwa tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi masalah, suatu pertanyaan akan menjadi masalah, jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan dengan suatu prosedur rutin yang sudah diketahui si pelaku.Dan sementara itu Suryadi (2007: 6) mengatakan bahwa, sebuah pemecahan masalah biasanya memuat suatu situasi yang dapat mendorong seseorang untuk menyelesaikannya akan tetapi tidak secara langsung tahu caranya.
Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting. Sejak lama pemecahan masalah telah menjadi fokus perhatian utama dalam pengajaran matematika di sekolah.Pemecahan masalah merupakan kognitif tingkat tinggi. Tim MKPBM Jurusan Matematika (2001: 83) berpendapat pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun  penyelesaiannya, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Guru menghadapi kesulitan dalam pengajaran bagaimana cara menyelesaikan masalah dengan baik, di lain pihak siswa menghadapi kesulitan bagaimana menyelesaikan masalah yang diberikan oleh guru. Pembelajaran pemecahan masalah merupakan kegiatan yang dirancang oleh guru dalam rangka memberi tantangan kepada siswa melalui pertanyaan. Cooney et al (1975: 242) menyatakan bahwa, the action by a wich a teacher encourages students to accept a challenging question an guids them in their resolution. Hal ini menjelaskan bahwa pembelajaran pemecahan masalah adalah suatu tindakan yang dilakukan guru agar para siswanya termotivasi untuk menerima tantangan yang ada pada pertanyaan dan mengarah para siswa dalam proses pemecahannya.
Untuk menyelesaikan suatu masalah Polya (dalam Shadiq, 2004: 11) mengembangkan empat langkah proses pemecahan masalah sebagai berikut: (1)  memahami masalah merujuk pada, apa yang diketahui, bagaimana data yang ada dari persoalan tersebut, bagaimana syarat-syaratnya, bagaimana gambaran dari masalah, informasi apa yang mendukung proses pemecahan masalah; (2) merencanakan pemecahan masalah, pada pembelajaran pemecahan masalah siswa diberi pengalaman menerapkan berbagai macam strategi pemecahan masalah dalam suatu kegiatan pemecahan masalah; (3) melaksanakan rencana pemecahan masalah, melatih siswa melaksanakan proses pemecahan masalah, ingatkan siswa tentang apa yang harus diketahui;(4)  mengecek kembali, setelah mendapatkan penyelesaian masalah siswa diingatkan agar mengecek atau melihat kembali penyelesaian yang diperolehnya.Keberhasilan siswa dalam pemecahan masalah bisa dilihat dari penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh guru mulai dari proses sampai akhir pembelajaran. Wardhani (2005: 9) menjelaskan  langkah-langkah penilaian pemecahan masalah sebagai berikut;soal yang diberikan jenis soal uraian; pedoman pemberian skor untuk setiap butir soal disusun menurut rumusan kalimat-kalimat butir soal tersebut; rentang skor dari 1-4.

Penilaian hasil dapat memberikan upaya umpan balik kepada guru untuk menyempurnakan perencanaan dan proses pembelajaran. Pencapaian hasil belajar yang diharapkan ditentukan oleh indikator yang telah ditetapkan. KTSP (2006: 143), menjabarkan indikator-indikator pada pemecahan masalah yaitu:menunjukkan pemahaman masalah; mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah; menyajikan masalah secara metematik dalam berbagai bentuk; memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat; mengembangkan strategi pemecahan masalah; membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah; dan menyelesaikan masalah yang tidak rutin.
Pemecahan masalah suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kesulitan, guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu mudah untuk dicapai.Guru sering mendapat kesulitan ketika proses pembelajaran.Dalam kegiatan belajar mengajar guru memulai pelajaran dengan membahas definisi-definisi, lalu membuktikan kepada siswa rumus-rumus yang terkait dengan topik tersebut, diikuti dengan membahas contoh-contoh soal dan diakhiri dengan meminta siswa untuk mengerjakan soal-soal latihan.  Seorang siswa dinilai telah menguasai materi matematika jika ia mampu mengingat dan mengaplikasikan aturan-aturan atau langkah-langkah yang sudah disampaikan oleh guru. Di samping itu, proses pembelajaran di kelas guru sangat dominan dan berperan aktif. Strategi pembelajarannya lebih ditekankan kepada siswa untuk mengingat atau menghafal dan tidak menekankan kepada siswa untuk memahami konsep, bernalar dan berkomunikasi serta memecahkan suatu masalah.
Melalui pemecahan masalah siswa dapat mengalami atau merasakan kekuatan dan kegunaan matematika. Pemecahan masalah harus mengembangkan pembelajaran secara matematis. Siswa dapat mempelajari dan memperdalam pemahaman mereka tentang konsep-konsep matematika dengan bekerja melalui soal-soal yang dipilih berkenaan dengan penerapan dari pengalaman sehari-hari.
Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika berusaha untuk mengubah kondisi di atas, yaitu dimulai dari dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Suherman (2003: 2) berpendapat, penggunaan pendekatan kontekstual sejalan dengan tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan itu sendiri, pengetahuan tumbuh dan berkembang bukan melalui pemberitahuan akan tetapi melalui konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan asesmen otentik, dimulai dari pengamatan sehari-hari yang dialami secara nyata kemudian di abstraksi menjadi suatu konsep. Dalam pembelajaran matematika kontekstual pada pemecahan masalah, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya yakni menemukan sesuatu yang baru diketahui hasil penemuan sendiri bukan apa kata guru. Tugas seorang guru harus membantu siswanya mendapatkan informasi, ide-ide, keterampilan-keterampilan, nilai-nilai, dan cara-cara berfikir serta mengemukakan pendapat. Dengan kata lain tugas guru adalah membimbing siswa tentang bagaimana belajar yang sesungguhnya dan bagaimana memecahkan setiap masalah yang dihadapinya.

Sesuai dengan ciri-ciri pembelajaran matematika kontekstual, masalah diberikan di awal kegiatan pembelajaran, yaitu masalah nyata yang pernah di alamai atau difikirkan oleh siswa. Melalui masalah diharapkan siswa mampu menemukan sendiri konsep dan prosedur matematika dari pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh guru ataupun pertanyaan dari siswa.Depdiknas (2002: 14) mengatakan bahwa, suatu rumus, konsep atau prinsip dalam matematika, seyogyanya ditemukan kembali oleh si pembelajar dibawah bimbingan guru (guided reinvention), kecuali untuk pengetahuan yang bersifat faktual dan prosedural, yang cukup dikenalkan dan diingat siswa misalnya: lambang bilangan dan notasi, prosedur mengalikan atau membagi.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengangkat sebuah judul yang berkaitan antara pendekatan kontekstual dengan kemampuan pemecahan masalah pada pembelajaran matematika yaitu, upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada pembelajaran matematika melalui penerapan pendekatan kontekstual di SMP Negeri 2 Kuningan.
Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.
“Apakah penerapan pendekatan kontekstual pada pembelajaran matematika dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah?”
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah, untuk mengetahui sejauh mana penerapan pendekatan kontekstual pada pembelajaran matematika dapat meningkatkan kemampuan pemecahan.

METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian tindakan kelas (PTK) pada pendekatan  kontekstual dalam upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.Sedangkan peneliti mengadakan penelitian tindakan kelas di SMP Negeri 2 Kuningan yang beralamat di Jl. Otista No. 136 Kuningan, dengan subjek penelitian siswa kelas VIII G dengan jumlah 35 orang. Adapun yang menjadi alasan dipilihnya siswa siswi kelas VIII G karena mempunyai kemampuan akademik yang heterogen.
Penelitian tindakan kelas yang peneliti tulis yaitu untuk mengkaji, menganalisa dan merefleksi secara kritis dalam upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Penelitian ini dilaksanakan melalui empat tindakan. Pengumpulan data pada penelitian ini diperoleh dari hasil tes tertulis. Tes tulis terdiri dari tes formatif dan ulangan harian.Pada penelitian ini, tes formatif dilakukan setiap akhir pertemuan dan ulangan harian dilakukan setiap akhir pembelajaran. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika dapat dilihat dari hasil tes tertulis.
Pengolahan data pada penelitian ini sebagai berikut.
Data hasil tes formatif dan ulangan harian diolah dengan rumus:
tingkat kemampuan pemecahan masalah tiap siswa
=     Skor yang dicapai  x  100%
         Jumlah skor maksimum

tingkat kemampuan pemecahan masalah kelas
=     Jumlah skor soal yang dicapai  x  100%
                   Jumlah skor maksimum
ndikator ketercapaian pemecahan masalah sebagai berikut, 90% - 100% Sangat baik; 75% - 89%   Baik;  55% - 74%   Cukup; 40% - 54%   Kurang; 0% - 39%     Sangat kurang.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian ini, data penilitian diperoleh dari hasil tingkat kemampuan pemecahan masalah siswa dari hasil tes formatif dan ulangan harian.  Untuk lebih jelasnya hasil penelitian akan dijelaskan di bawah ini.

1.1  Tindakan I
Pembelajaran pertama dilaksanakan dengan menyampaikan materi pokok sistem persamaan linear dua variabel pada materi ajar mennyelesaikan model matematika yang berkaitan sistem persamaan linear dua variabel dengan menggunakan metode substitusi.
Tindakan awal yang dilakukan adalah, pembagian kelompok dengan daftar yang sudah disusun sebelumnya oleh peneliti. Setiap kelompok terdiri dari empat orang. Pada setiap kelompok ditunjuk satu orang siswa yang mempunyai kemampuan yang lebih pandai diantara teman-temannya. Hal ini betujuan agar siswa yang pandai dapat memberikan pengetahuan dan membantu guru dalam proses pembelajaran. 
Dari hasil pengamatan pada awal pembelajaran, sebagian besar siswa terlihat memperhatikan guru pada saat menjelaskan materi. Di awal pembelajaran dimunculkan masalah kontekstual yaitu masalah nyata yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan terkait dengan materi ajar yang akan dibahas. Antusias siswa bertambah ketika guru membagikan LKS yang memuat pertanyaan-pertanyaan jenis pemecahan masalah.
Penyelesaian pertanyaan di dalam LKS ini dilakukan secara berurutan sesuai dengan langkah-langkah pada proses pemecahan masalah, mulai dari menterjemahkan masalah ke model matematika hingga penyelesaian akhir dengan menggunakan metode yang sudah ditentukan. Kelihatan siswa kebingungan untuk menyelesaikan permasalahan ini, banyak diantara siswa membuka-buka buku sumber sebagai bahan Bantu, sehingga guru harus berkeliling untuk membimbing siswa dalam menterjemahkan permasalahan itu. Jelas terlihat bahwa siswa kesulitan dalam menterjemahkan pertanyaan ke model matematika. Hal ini disebabkan karena siswa belum memahami konsep dan menemukan rumus-rumus yang tepat sehingga proses penemuan belum berjalan dengan baik.
Dalam menyelesaikan LKS, siswa cenderung mengerjakan sendiri, sehingga proses diskusi kelompok belum berjalan dengan baik. Mereka merasa enggan dan malu untuk bertanya kepada teman sekelompoknya ataupun kepada guru. hanya sebagian kecil saja siswa yang mau bertanya kepada guru.
Untuk memotivasi dan mengaktifkan diskusi, guru menunjuk salah satu kelompok untuk tampil di depan kelas dalam menyelesaikan pertanyaan yang ada pada LKS. Kelompok yang tampil masih belum percaya diri karena takut salah dalam mengemukakan pendapatnya.
Sedangkan kelompok yang lain kurang begitu merespon karena tidak paham akan permasalahan yang sedang dihadapi, hanya beberapa kelompok yang mau bertanya ataupun menyanggah dari jawaban kelompok yang tampil di depan.
Sebelum proses pembelajaran diakhiri, siswa tidak dapat menyimpulkan materi yang telah diajarkan. Pada proses ini guru berperan lebih aktif dan dominan dalam kegiatan belajar mengajar.
Sedangkan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah siswa, pembelajaran diakhiri dengan tes formatif. Banyak siswa yang menyontek kepada temannya, hal ini disebabkan siswa belum siap untuk di tes secara tertulis.
Pada tindakan pertama, tingkat kemampuan pemecahan masalah kelas  diikuti oleh 35 siswa dan mencapai 52,7% dengan kategori kurang.
Setelah dilaksanakan tindakan I, peneliti  mengidentifikasi permasalahan yang ditemukan sebagai sebagai berikut: (1) siswa belum memahami konsep serta menterjemahkan pertanyaan ke dalam model matematika; (2) dalam penyelesaian masalah siswa sangat mengandalkan bantuan guru untuk memberikan jawaban; (3) Kerja sama dalam diskusi kelompok masih kurang; (3) siswa tidak percaya diri untuk mengemukakan pendapat ketika tampil di depan kelas; (4) masih ada siswa yang malas untuk belajar dan tidak bersemangat dalam mengerjakan LKS;  (5) siswa belum kelihatan aktif dalam kegiatan belajar mengajar; (6) sebagian besar siswa belum dapat menyimpulkan materi yang telah diajarkan; (7) siswa belum siap untuk melaksanakan tes formatif di akhir pembelajaran.
Adapun  perbaikan untuk  pembelajaran hari kedua sebagai berikut: (1) menyusun LKS dengan kalimat dan pertanyaan yang mudah dimengerti sehingga siswa dapat menterjemahkan pertanyaan ke model matematika; (2) lebih menekankan kepada siswa untuk belajar di rumah agar proses pembelajaran tidak selalu mengandalkan guru dalam menyelesaikan masalah; (3) diskusi dalam kelompok harus ditingkatkan supaya keterampilan sosial siswa meningkat; (4) memotivasi siswa untuk lebih percaya diri tampil di depan kelas; (5) meyakinkan siswa bahwa teknik bertanya merupakan salah satu cara untuk proses penemuan, sehingga siswa bersemangat dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar; (6) menciptakan situasi belajar yang lebih menyenangkan dan tidak membosankan agar aktivitas siswa dapat berjalan dengan baik; (7) siswa disarankan untuk mempelajari materi yang akan diajarkan di rumah, dan disarankan bahwa setiap akhir pembelajaran diadakan tes formatif.
   
1.2  Tindakan II
Pada tindakan II, materi pokok yang diberikan adalah sistem persamaan linear dua variabel dengan materi ajar menyelesaikan model matematika yang berkaitan dengan sistem persamaan linear dua variabel dengan menggunakan metode eliminasi.
Kemampuan pemecahan masalah matematika pada siswa pada tindakan II mengalami peningkatan dibandingkan dengan tindakan I walaupun belum optimal. Siswa terlihat lebih aktif, hal ini disebabkan siswa sudah mengenal pendekatan kontekstual pada pembelajaran pemecahan masalah. Suasana belajar terlihat lebih nyaman.

Ketika kegiatan mengajar berlangsung, perhatian siswa terhadap penjelasan guru menunjukkan adanya peningkatan. Dikusi kelompok mulai terlihat aktif walaupun tidak sesuai harapan. Masih banyak siswa yang malu bertanya kepada temannya ataupun kepada guru. Rasa percaya diri dan bertanggung jawab terhadap kelompoknya masih kurang. Dalam menyelesaikan LKS sebagian besar siswa sudah dapat menterjemahkan pertanyaan ke model matematika, sehingga guru hanya membimbing siswa yang kelihatan kebingungan dalam mengerjakan LKS tersebut.
Guru masih mengarahkan siswa dalam membuat kesimpulan terhadap materi yang telah diajarkan, walaupun sebagian siswa sudah dapat membuat kesimpulan itu. Di akhir pembelajaran, untuk mengukur kemampuan siswa dalam memecahkan masalah diadakan tes formatif. Pada tindakan kedua tes formatif diikuti oleh 35 siswa dan diperoleh data hasil tingkat kemampuan pemecahan masalah kelas mencapai 63,9% dengan kategori cukup. Pada tes formatif II mengalami peningkatan sebesar 11,2%.
Setelah dilaksanakan tindakan II, peneliti  mengidentifikasi permasalahan yang ditemukan selama pembelajaran berlangsung sebagai berikut: (1) diskusi kelas belum berjalan sesuai dengan harapan; (2) belum percaya diri dalam mengemukakan pendapat; (3) masih kurang rasa tanggung jawab terhadap kelopompoknya. (4) dalam mengambil kesimpulan belum berjalan dengan baik.
Adapun  perbaikan pada pembelajaran hari ketiga sebagai berikut: (1) memberikan motivasi bahwa diskusi kelompok dapat memecahkan masalah yang sedang dihadapi untuk menyelesaikannya;  (2) meyakinkan siswa agar jangan takut untuk mengemukakan pendapat; (3) memberikan penekanan bahwa dengan rasa tangung jawab yang tinggi diskusi kelompok dapat berjalan dengan baik; (4) memberikan bimbingan lebih intensif pada tiap kelompok supaya siswa dapat mengambil kesimpulan sendiri.

1.3  Tindakan III
PadaTindakan III materi pokok yang diberikan adalah sistem persamaan linear dua variabel dengan materi ajar menyelesaikan model matematika yang berkaitan dengan sistem persamaan linear dua variabel dengan menggunakan metode grafik.
Perhatian siswa pada saat pembelajaran mengalami peningkatan. Tugas guru sebagai fasilitator dan motivator sudah mulai berjalan, meskipun belum optimal. Pada saat proses pembelajaran, sebagian besar siswa sudah dapat menyelsaikan permasalahan dari LKS dengan menggunakan metode yang sudah ditentukan. Menulis yang relevan pada saat pembelajaran menunjukkan peningkatan yang baik.
Ketika diskusi kelas berlangsung, siswa mulai percaya diri dan tidak malu bertanya kepada temannya ataupun guru. Rasa tanggung jawab terhadap kelompoknya menunjukkan peningkatan. Setelah diskusi selesai guru menugaskan siswa untuk membuat kesimpulan dari materi yang telah diajarkan. Seperti biasa untuk mengukur kemampuan siswa dalam pemecahan masalah dilakanakan tes formatif sesuai dengan materi ajar. Terlihat siswa sudah siap dalam melaksanakan tes. Pada tindakan ketiga, tes diikuti 35 siswa, dan diperoleh data hasil tingkat kemampuan pemecahan masalah kelas mencapai 76,5% dengan kategori baik. Pada tes formatif III ini mengalami peningkatan sebesar 12,6%.
Setelah dilaksanakan tindakan III, peneliti   mengidentifikasi permasalahan yang ditentukan sebagai berikut: (1) siswa menginginkan pertambahan waktu dalam diskusi agar bisa lebih mendalami materi dan bertanggung jawab terhadap kelompoknya, sehingga mendapat nilai yang baik; (2) masih ada siswa yang belum percaya diri untuk mengemukakan pendapat, serta bertanya kepada teman ataupun guru.
Adapun  perbaikan pada pembelajaran hari keempat sebagai berikut: (1)siswa diberi pengertian bahwa waktu belajar di sekolah sangat terbatas, jadi untuk mengefisienkan waktu siswa harus mempersiapkan diri dengan belajar dan berlatih sungguh-sungguh di rumah; (2) memberikan motivasi agar siswa percaya diri dan jangan takut salah dalam mengemukakan pendapat.

1.4  Tindakan IV
Pada tindakan IV  materi pokok yang diberikan adalah sistem persamaan linear dua variabel dengan materi ajar menyelesaikan model matematika yang berkaitan dengan sistem persamaan linear dua variabel menggunakan metode substitusi dan eliminasi. 
Pada tindakan IV, siswa lebih aktif memanfaatkan waktu pada kegiatan diskusi kelompok dengan sebaik-baiknya. Siswa kelihatan percaya diri dan tidak takut salah dalam mengemukakan pendapat.Proses penemuan konsep lebih mudah meskipun tingkat kesukaran materi bertambah, hal ini disebabkan interaksi antar siswa bertambah pula. Pada pembelajaran keempat ini, terlihat siswa lebih dominan dan berperan aktif. Siswa labih memahami pemecahan masalah, karena masalah yang diberikan adalah masalah dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan tujuan pembelajaran kontekstual. Di akhir pembelajaran siswa lebih kelihatan siap untuk melaksanakan tes formatif.           
Pada tindakan keempat, tes formatif diikuti oleh 35 siswa, dan diperoleh data hasil tingkat kemampuan pemecahan masalah kelas mencapai 83,1% dengan kategori baik. Pada tes formatif IV ini mengalami peningkatan sebesar 6,6%.
Setelah tindakan IV dilaksanakan, ternyata pembelajaran keempat lebih baik dari pembelajaran-pembelajaran sebelumnya. Peneliti  mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut: (1) data hasil temuan tindakan I sampai dengan tindakan IV dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model kontekstual dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa; (2) guru perlu mengadakan pendekatan kepada siswa yang pasif agar dalam kegiatan belajar mengajar mau ikut berperan aktif; (3) siswa harus terus diberi motivasi agar tidak menyerah dalam proses pemecahan masalah; (4) rasa percaya diri dan kreativitas adalah kunci utama untuk menyelesaikan suatu masalah, harus ditumbuhkan dalam diri siswa. 
Kegiatan penelitian ini diakhiri dengan ulangan harian pada tindakan kelima yang diikuti oleh 35 siswa. Tingkat kemampuan pemecahan masalah kelas mencapai 91,6% dengan kategori sangat baik.
2. Pembahasan
 .
Hasil Kemampuan Pemecahan Masalah
.
Dari hasil analisa kemampuan pemecahan masalah terlihat bahwa, mulai dari pembelajaran hari pertama sampai dengan pembelajaran hari keempat mengalami peningkatan. Hal ini terlihat  perolehan data dari tingkat kemampuan masalah yang diikuti oleh 35 siswa sebagai berikut:
a. pada tindakan pertama, tingkat kemampuan pemecahan mencapai 52,7% dengan kategori kurang.
b. pada tindakan kedua, mencapai 63,9% dengan kategori cukup. Pada tes formatif II mengalami peningkatan sebesar 11,2%.
c. kemampuan pemecahan masalah kelas mencapai 76,5% dengan kategori baik. Pada tes formatif III ini mengalami peningkatan sebesar 12,6%.
d. Pada tindakan keempat, diperoleh data hasil tingkat kemampuan pemecahan    masalah kelas mencapai 83,1% dengan kategori baik. Pada tes formatif IV ini mengalami peningkatan sebesar 6,6%.
e. Kegiatan penelitian ini diakhiri dengan ulangan harian. Tingkat kemampuan pemecahan masalah kelas mencapai 91,6% dengan kategori sangat baik.

Jadi dengan diterapkannya  pendekatan kontekstual ternyata dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada pembelajaran matematika.

SIMPULAN DAN SARAN
.
1.   Simpulan
 Berdasarkan hasil penelitian, analisa data dan hasil refleksi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual pada setiap tindakan serta pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
-    Penerapan pendekatan kontekstual pada pembelajaran matematika dapat    meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.
.
2.  Saran
Berdasarkan simpulan di atas, maka penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut.
a.    Bagi siswa, dengan menerapkan pendekatan  kontekstual dapat meningkatkan aktivitas dan gairah belajar, maka jadikanlah ini sebagai titik awal dalam kemampuan untuk menyelesaikan pemecahan masalah matematika.
b.    Bagi sekolah, dengan model kontekstual sebagai alternatif dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran matematika, sehingga tujuan pendidikan secara umum dapat tercapai.
c.    Bagi peneliti lain, diharapkan dapat menerapkan pendekatan kontekstual pada materi pokok yang lain, karena pendekatan ini dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada pembelajaran matematika. ***

Presentasi Ibu Yoyoh Sadiah, S.Pd dalam Lomba KTI PTK Hasil Kegiatan MGMP SMP Kabupaten Kuningan hari Kamis, 27 Desember 2012 di Gedung Guru/PGRI Kagupaten Kuningan.

1 komentar:

  1. saya mau tanya, kalau indikator kemampuan pemecahan masalah yang sebanyak 17 buah itu nyarinya dimana? saya disuruh dosen untuk mencari indikator tersebut tapi tidak saya ketemukan

    BalasHapus